Penyesalan, satu kata yang membius jaringan-jaringan saraf otakku
hingga sampai ke pusatnya dan membuatku membuka semua memori-memori lama 4
tahun silam. Cita-cita mulia yang tak pernah aku duga terbesit dalam pikiranku.
Bermula dari seorang anak belia yang sudah mampu mengingat dan menjaga kitab
suci ummat islam, yang mampu menularkan virusnya kepada ku. Pertama kali
mengenalnya, rasa kagum, haru, malu dan hasrat ingin sepertinya, muncul secara
tak terduga. Keinginanku kian menguat. Aku memberanikan diri menyapa dan
berbincang dengan anak itu. “Bagaimana kamu bisa mengahafalnya dek? Sejak kapan
kamu memulainya dek? Karena siapa kamu bisa seperti ini dek?” pertanyaan itu
bertubi-tubi aku lontarkan kepadanya, hingga tampak kebingungan di wajahnya.
Kemudian dengan santun dan sabar dia menjawab satu demi satu pertanyaanku.
“Saya mengahafal di pondok mbak, dan sudah lumayan lama memulainya, insyallah
lillahita’ala mbk, pondok saya memang khusus untuk hafalan al-qur’an, jadi
awalnya mungkin karena orang tua yang memasukkan saya ke sana, tapi hari demi
hari saya lalui, betapa indah dan sejuk saya rasakan mbk.” Dengan senyum indah
dia memberikanku tambahan energi untuk memperkuat tekatku menjadi sepertinya. Aku
menatapnya sejenak, terpancar cahaya cerah nan berkilau di matanya. Aku semakin
yakin dengan langkah yang akan aku tapaki.
Setiap kali aku melihat anak itu, aku semakin semangat untuk
memulainya dan bisa menghafal dengan segera 30 juz sempurna. Hari pertama, aku
bingung bagaimana aku memulainya. Aku bertanya kepada anak itu, kemudian dia
jelaskan kepadaku bagaimana aku harus memulai. Air mata membanjiri pipiku,
menetes membasahi kain putih yang membalut kepalaku. “Muslimah macam apa aku
ini, mengapa aku seperti ini, mengapa tidak dari dulu aku memulainya.” Caci dan
maki terus bergejolak dalam hatiku. Menyalahkan diriku sendiri akan hal ini.
Sore hari, saat langit menampakkan warna sexinya, aku mendengar satu
cerita dari lisan sahabatku, mengenai seorang muslimah yang hebat. Dia seorang
muslimah penjaga kalamullah, seorang yang mahir berbincang dengan bahasa
orang-orang Amerika, wanita sholihah yang diam-diam aku kagumi, setiap
gerak-geriknya yang diam-diam aku perhatikan, dia Mega Syahidah. Aku ingin
menjadi seperti Mega Syahidah. Memang dia bukan Aisyah r.a, namun dia mengikuti
beliau, memang dia bukan Khadijah, namun dia ingin sepertinya dan memang dia
bukan Fatimah binti Rasulullah, namun, dia berharap bisa meneladaninya.
Masyaallah, Tuhan begitu baik dan memang maha baik, mengirimkan satu sosok yang
bisa aku ambil contoh kebaikan dalam dirinya.
Waktu itu, malu aku untuk menyapanya. Aku yang rendah dan dia yang
istimewa. Aku hanya seorang anak yang sekedar punya mimpi ingin sepertinya. Dia
melangkahkan kakinya dengan pasti menuju satu tempat yang selalu menjadi saksi
akan taubat para hamba penuh dosa, gaun putih berbordir bunga mawar merah
begitu anggun dikenakannya. Senyumnya semakin lebar saat seorang teman
seperjuangan menyapanya. Tutur katanya lembut, menyejukkan hati saat dia
lantunkan kalam ilahi dari kerongkongannya. Kembali aku bersyukur pada Allah
dengan petunjuk yang Dia berikan melalui wanita yang insyaallah Allah kasihi
ini.
Suatu malam, dengan langkah mantap dari asramaku, aku melangkah
menuju gubuk sang muslimah, Mega Syahidah. “Assalamu’alaikum, mbak permisi, ada
mbak Mega Syahidah?” Kusapa seorang yang sedang membaca buku di depan kamar
sebelah barat asramaku. “Iya mbak, mbak Mega ada kok, sebentar ya… saya
panggilkan.” Suaranya serak-serak basah menjawab sapaanku. “Guys, Do you look
Mrs. Mega?” Dia sedikit berteriak kepada kelompok wanita-wanita yang sedang
belajar bahasa Inggris. Salah satu dari mereka menjawab “She is going to
bathroom, and please say to someone who looking for Mrs. Mega to wait her
moment.”
Beberapa menit kemudian, orang yang aku cari muncul dari sebelah
barat asrama yang sedang kusinggahi ini. Senyumnya yang khas menuju padaku,
“Adek, cari saya?” Tanyanya halus. “Iya mbak, saya ingin sharing dan
bincang-bincang sama mbak Mega.” Jawabku jujur dan penuh bahagia. “Iya dek,
sebentar ya.” Ucapnya. Aku menunggu dengan perasaan bercampur aduk, bingung apa
yang akan aku bicarakan pertama kali.
“Kenapa dek? Dek iffah kan? Yang ikut rombongan pondok waktu
pulangan ke Bali?” Pertanyaannya penuh yakin. Dengan mantap aku menjawab
“Emmzz, iya mbk benar, mbak Mega masih ingat sama saya?” tanyaku seakan tak
percaya. “Ingat lah dek, ada apa dek?” tanyanya. “Mbak, saya punya masalah,
sebelumnya boleh saya cerita sama mbk? Ndak ada kegiatan kan mbak?” Tanyaku.
“Boleh lah dek, monggo. Ndak ada dek, mau cerita apa?” Otakku mulai memutar
kata-kata yang tepat untuk menyampaikan apa yang sedang aku rasakan. “Begini
mbak, saya itu merasa pesimis, apa saya bisa menyelesaikan hafalan saya,
sedangkan saya tidak berada di tempat yang khusus untuk hafalan Al-Qur’an.”
Ujarku. “Adek, mbak mohon maaf ya sebelumnya, mbak bukan maksud menggurui, dan
rasanya mbak juga tidak pantas menasehati wanita hebat seperti dek Iffah.
Begini dek, jika niat kita sudah bulat, insyaallah Allah akan menolong
kelurganya. Siapa keluarga Allah? Ialah mereka para penjaga kalamnya (Hafidzul
Qur’an), tidak ada yang tidak mungkin kalau usaha kita sudah maksimal dan
bersamaan dengan taqdir Allah, karena Allah sudah berjanji dalam Kitabnya yang
mulia yang artinya “Aku tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali jika kaum
itu mau berusaha merubahnya” insyaallah begitu. Tentu dek Iffah sudah tahu.”
Nasehatnya begitu sejuk dalam hati dan jiwaku. Tak terasa air bening menetes
dari bola mataku. “Dek, setiap orang pasti punya masalah, kita hidup saja itu
sudah masalah, karena selama kita hidup, kita tidak akan pernah lepas dari
namanya masalah. Tapi rubahlah cara pikir kita dek, jangan mengaggap masalah
itu segunung beban yang akan membuat kita terus-terusan terpuruk. Jangan
menganggap kita punya masalah, tapi ingatlah bahwa kita punya tuhan, Allah Swt
yang akan membantu menyelesaikan masalah kita.” Imbuhnya dengan penuh
ketulusan.
Aku tak dapat merespon apa-apa. Mulutku rasanya kelu, hatiku terguncang,
emosi bahagia dengan nasehat itu, dan emosi sedih tumpah ruah dalam relung jiwa
karena betapa bodohnya aku selama ini, mengaku cinta Allah, tapi kurang
muhasabah. Sederet istighfar terus terlantun dalam hati dan jiwaku. Memohon
ampunan kepada Allah atas dosaku yang begitu banyak, salahku yang menggunung,
khilafku yang berkali-kali, dan kebodohanku yang begitu luas.
Satu pesan seorang Mega Syahidah yang begitu
mantap tertancap dalam ingatanku, bahwa semuanya tidak ada yang mudah, semua
hal butuh perjuangan, pengorbanan dan butuh merasakan pahit terlebih dahulu.
Karena keindahan bintang akan kita dapatkan saat kita sudah melewati betapa
panas dan perih terik matahari.Malang, 2015
Komentar