Siang itu menjadi salah satu
siang istimewa, karena Ibu memberikan wejangan mutiara hikmah jauh lebih banyak
dari biasaya saat berbincang di telepon.
“Kamu sudah makan nduk?” Pertanyaan
khas Ibu yang selalu aku rindukan.
“Sampun dong bu, sudah habis 2
piring. Hehehe” Jawabku penuh jenaka.
“Wih... pulang-pulang nanti
bajunya ndak muat nih!.” Ibu melanjutkan guyonannya.
“Mboten nopo-nopo to bu, dari
pada kurus kerontong nanti dikira mboten diparingi uang jajan kale
panjennengan. Hehehe.” Aku selalu begitu, meladeni candaan Ibu.
“Nduk, sibuk apa sekarang?”
“Niki tasek ngetik-ngetik, mainan
laptop. Hehe. Pangestune geh buk, mugi diparingi lancar, istiqomah, sabar, lan kuat.”
“Oh jeh bu. Sakniki laptop kulo
ajaib, kadang hurufnya jalan-jalan sendiri tanpa dipencet, terus kadang kehapus
sendiri tanpa diminta. Keren to bu. Hehehe.” Imbuhku.
“Noh, kok ngoten to nduk? Hehe,
enak too. Geh disyukuri mawon.” Pertanda Ibu menenangkan, disuruh bertahan
dulu dengan laptop penuh sejarah itu.
Beberapa menit berlalu membahas
laptop yang sejak kelas 1 aliyah menemani. Pembicaraan ibu tiba-tiba langsung beralih
mengenai kesibukanku yang sempat diselingi candaan tadi.
“Nduk, seng apik ngatur waktune,
ojok kesel-kesel, semangat memang harus terus membara, tapi ya ojok nemen-nemen
mekso awak. Tubuhmu punya hak untuk merasakan nikmatnya berbaring.”
“Siap bu bos, injeh. Hehehe.”
“Nduk, wes mari tak critani
masalah lilin belum?”
“Engkang pundi bu?, ceritakan maleh
mboton nopo-nopo.”
“Nduk, orang menjaga amanah itu
ibarat lilin. Saat lilin itu menyala apinya, seperti itulah amanah disematkan. Kamu
harus bisa menjaganya dari terpaan angin, tiupan orang-orang yang usil, atau bahkan
kamu sendiri yang bermain-main meniupnya agar lilin itu tidak mati. Begitu pula menjaga amanah, jelas
akan banyak godaan angin bisikan dari segala penjuru untuk meruntuhkan
tembok pertahananmu menjaga amanah itu, atau bahkan kelengahanmu sendiri."
"Em, Bagaimana akibatnya
bila lilin itu berhasil dimatikan apinya bu?" Tanyaku menyela penjelasan Ibu.
"Wah celaka Nduk, kegelapan yang ada.”
“Ya.. lilin yang ibu maksud ini
lilin yang memang fungsinya menerangi dalam keadaan gelap gulita lo. Bukan lilin
ulang tahun atau lilin pawai karnaval malam takbiran yang biasanya santri TPQ bawa itu."
Sesekali ibu mengehla napasnya. Lalu melanjutkan kembali pesan mutiara hikmahnya.
"Nduk, Kalau lilin itu mati, maka gelap
gulita yag terjadi. Sama halnya dengan amanah, jika seseorang tidak
berhasil menjaga amanahnya, maka ia akan jatuh pada kegelapan mata hatinya, bagaimana orang yang sedang dalam kegelapan? Ya ndak bisa melihat apa-apa, hanya hitam. dia tak bisa melihat mana pisau, mana
jarum, mana makanan, mana alat kebersihan. Mungkin ya bisa meraba, tapi kan ya sekenanya tangan
kita mencapainya, bisa saja salah pegang. Begitu pula orang yang tak bisa
menjaga amanahnya, saat itu pula dia akan dibutakan mata hatinya, tak bisa
melihat mana benar mana salah, mana yang seharusnya miliknya dan mana yang
seharusnya milik tetangganya.”
Sungguh, tak pernah ibu berpesan
begitu panjang seperti ini. Sepertinya kegelisahan terbesarku benar-benar mengusik
batin ibu, sehingga memaksa diri beliau untuk turun tangan menguraikan
pesan-pesan panjang yang biasanya hanya bapak yang melakukan.
Malang, 22 Februari 2019
Komentar