MUTIARA HIKMAH IBU bagian 1 (Tentang Lilin dan Amanah)

Siang itu menjadi salah satu siang istimewa, karena Ibu memberikan wejangan mutiara hikmah jauh lebih banyak dari biasaya saat berbincang di telepon.

“Kamu sudah makan nduk?” Pertanyaan khas Ibu yang selalu aku rindukan.
“Sampun dong bu, sudah habis 2 piring. Hehehe” Jawabku penuh jenaka.
“Wih... pulang-pulang nanti bajunya ndak muat nih!.” Ibu melanjutkan guyonannya.
Mboten nopo-nopo to bu, dari pada kurus kerontong nanti dikira mboten diparingi uang jajan kale panjennengan. Hehehe.” Aku selalu begitu, meladeni candaan Ibu.
Nduk, sibuk apa sekarang?”
Niki tasek ngetik-ngetik, mainan laptop. Hehe. Pangestune geh buk, mugi diparingi lancar, istiqomah, sabar, lan kuat.”
“Oh jeh bu. Sakniki laptop kulo ajaib, kadang hurufnya jalan-jalan sendiri tanpa dipencet, terus kadang kehapus sendiri tanpa diminta. Keren to bu. Hehehe.” Imbuhku.
“Noh, kok ngoten to nduk? Hehe, enak too. Geh disyukuri mawon.” Pertanda Ibu menenangkan, disuruh bertahan dulu dengan laptop penuh sejarah itu.

Beberapa menit berlalu membahas laptop yang sejak kelas 1 aliyah menemani. Pembicaraan ibu tiba-tiba langsung beralih mengenai kesibukanku yang sempat diselingi candaan tadi.

Nduk, seng apik ngatur waktune, ojok kesel-kesel, semangat memang harus terus membara, tapi ya ojok nemen-nemen mekso awak. Tubuhmu punya hak untuk merasakan nikmatnya berbaring.”
“Siap bu bos, injeh. Hehehe.
Nduk, wes mari tak critani masalah lilin belum?”
Engkang pundi bu?, ceritakan maleh mboton nopo-nopo.”
Nduk, orang menjaga amanah itu ibarat lilin. Saat lilin itu menyala apinya, seperti itulah amanah disematkan. Kamu harus bisa menjaganya dari terpaan angin, tiupan orang-orang yang usil, atau bahkan kamu sendiri yang bermain-main meniupnya agar lilin itu tidak mati. Begitu pula menjaga amanah, jelas akan banyak godaan angin bisikan dari segala penjuru untuk meruntuhkan tembok pertahananmu menjaga amanah itu, atau bahkan kelengahanmu sendiri."

"Em, Bagaimana  akibatnya bila lilin itu berhasil dimatikan apinya bu?" Tanyaku menyela penjelasan Ibu.  
"Wah celaka Nduk, kegelapan yang ada.”

“Ya.. lilin yang ibu maksud ini lilin yang memang fungsinya menerangi dalam keadaan gelap gulita lo. Bukan lilin ulang tahun atau lilin pawai karnaval malam takbiran yang biasanya santri TPQ bawa itu." 

Sesekali ibu mengehla napasnya. Lalu melanjutkan kembali pesan mutiara hikmahnya. 

"Nduk, Kalau lilin itu mati, maka gelap gulita yag terjadi. Sama halnya dengan amanah, jika seseorang tidak berhasil menjaga amanahnya, maka ia akan jatuh pada kegelapan mata hatinya, bagaimana orang yang sedang dalam kegelapan? Ya ndak bisa melihat apa-apa, hanya hitam. dia tak bisa melihat mana pisau, mana jarum, mana makanan, mana alat kebersihan. Mungkin ya bisa meraba, tapi kan ya sekenanya tangan kita mencapainya, bisa saja salah pegang. Begitu pula orang yang tak bisa menjaga amanahnya, saat itu pula dia akan dibutakan mata hatinya, tak bisa melihat mana benar mana salah, mana yang seharusnya miliknya dan mana yang seharusnya milik tetangganya.”

Sungguh, tak pernah ibu berpesan begitu panjang seperti ini. Sepertinya kegelisahan terbesarku benar-benar mengusik batin ibu, sehingga memaksa diri beliau untuk turun tangan menguraikan pesan-pesan panjang yang biasanya hanya bapak yang melakukan.

Perbincangan berakhirnya dengan kata andalanku, “Ibuk, Kulo Kangen.”

Malang, 22 Februari 2019

Komentar